- Oleh Mahmudi Asyari
KETIKA mendengar kemungkinan adanya perbedaan dalam menetapkan awal Idul Fitri dan Idul Adha sebagian umat Islam langsung mengarahkan telunjuknya kepada dua ormas Islam, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Hal ini wajar mengingat selama ini yang terkesan berhadapan vis a vis secara diametral dari segi doktrin adalah dua ormas tersebut mengingat NU merepresentasikan rukyah, sedangkan Muhammadiyah merepresentasikan hisab melalui doktrin wujudulhilal.
Pemerintah yang juga masih menjadikan rukyah sebagai landasan penetapannya, sedikit berbeda dari NU karena pemerintah masih mensyaratkan ketinggian hilal yang dirukyah mencapai ketinggian imkan al-rukyah. Selain ada perbedaan doktrin dua ormas Islam tersebut, penetapan Idul Adha ada kemungkinan berbeda mengingat hal itu sangat terkait dengan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci Makkah.
Menurut penganut aliran ini, yang dipelopori Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), penetapan hari Idul Adha harus mengikuti penetapan Kerajaan Arab Saudi (KAS). Jadi, menurut aliran ini ada dalil yang menyebutkan bahwa haji adalah wukuf di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah sehingga besoknya umat Islam di mana pun mereka harus shalat Idul Adha.
Di samping mengikuti penetapan KAS dalam Idul Adha, ada juga kriteria imkan al-rukyah yang diikuti Persatuan Islam (Persis) tanpa harus merukyah, dan kriteria ini berlaku juga pada penetapan awal Syawal. Menurut aliran ini, jika menurut hisab hilal sudah mencapai ketinggian 2 derajat maka besoknya berarti sudah bulan baru, Hijrah. Jadi, jika pada Idul Fitri perbedaan tersebut disebabkan doktrin rukyah (NU), imkan al-rukyah plus rukyah (pemerintah), wujudulhilal (Muhammadiyah), dan imkan al-rukyah semata untuk Idul Adha ditambah dengan satu doktrin lagi, yaitu mengikuti penetapan KAS.
Berkaitan dengan kelima doktrin yang berisiko memicu perbedaan tersebut perlu dilihat data hilal 6 November 2010. Ijtimak (konjungsi) untuk WIB terjadi pukul 11,52 dan ketika matahari terbenam ketinggian hilal di Indonesia antara 1 derajat 48 menit 42 detik (Pelabuhanratu) dan 0 derajat 58 menit 34 detik (Merauke). Berdasarkan data hilal itu, dan berdasarkan pengalaman, rukyah hampir bisa dikatakan sulit menelurkan hasil, terlebih ketika cuaca tidak cerah.
Lebih Bermanfaat Merujuk pada tiap-tiap doktrin tersebut kemungkinan besar pemerintah dan NU menetapkan awal Dzulhijjah 1431 H jatuh pada 7 November 2010 sore (habis magrib) sehingga Idul Adha jatuh pada Rabu, 18 November. Sedangkan Persis yang sudah menetapkan doktrin imkan al-rukyah dengan ketinggian hilal 2 derajat pasti menetapkan awal Dzulhijjah 1431 pada 7 November sore sehingga Idul Adha bagi pengikut aliran ini akan jatuh pada Rabu, 17 November.
Hal ini berbeda dari Muhammadiyah yang menganut doktrin wujudulhilal. Bagi ormas ini selama konjungsi jatuh sebelum magrib dan bulan terbenam sesudah matahari, besoknya adalah bulan baru. Maka awal Dzulhijjah 1431 jatuh pada 6 November sore (habis magrib) dan Idul Adha jatuh pada Selasa, 16 November. Adapun DDII dan yang sepaham akan bergantung kapan KAS menetapkan awal Dzulhijjah 1431 H. Berdasarkan elaborasi doktrin tersebut dikaitkan dengan data hilal 6 November lalu, perbedaan sepertinya sudah jadi keniscayaan.
Mengingat perbedaan penetapan awal Idul Adha sering terjadi di Indonesia, saya harap tidak perlu debat kusir. Justru sejatinya hal itu sebagai kemudahan karena siapa pun bisa memilih yang lebih diyakini mengingat hasil penetapan itu adalah ijtihad dan ijtihad adalah pilihan. Sejatinya nilai pengurbananlah yang harus ditonjolkan terutama saat ini banyak saudara kita tertimpa musibah seperti di DIY dan Mentawai. Jadi, sebaiknya jauhi keinginan ‘’berpesta’’ daging hewan kurban, sementara saudara-saudara kita sulit mendapatkan pangan lantaran tertimpa musibah.
Saya berkeyakinan bahwa pada saat ini, memberikan uang (yang tadinya diniatkan untuk beli hewan kurban) kepada saudara kita yang lagi tertimpa bencana lebih mendatangkan manfaat. Pasalnya, berkurban adalah sunah dan menolong orang yang susah meskipun tidak bisa dikatakan wajib hal itu termasuk sunah muakkad, sangat dianjurkan. (10)
— Mahmudi Asyari, doktor dari UIN Jakarta